Senin, 09 Januari 2012

LEMBAGA PEMASYARAKATAN


Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.
Lembaga Pemasyarakatan mendapat kritik atas perlakuan terhadap para narapidana. Pada tahun 2006, hampir 10% diantaranya meninggal dalam lapas. Sebagian besar napi yang meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan ketika dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara. Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni.
Namun kebalikan dari hal tersebut di atas, pada awal tahun 2010 terkuak kasus narapidana bernama Arthalita Suryani yang menjalani masa hukumannya di blok anggrek Rutan Pondok Bambu, Jakarta yang memiliki ruang karaoke pribadi dalam sel kurungannya berikut fasilitas pendingin udara (AC) dan dilengkapi kulkas beserta 1 set komputer jaringan guna memudahkan aktifitasnya mengontrol kegiatannya di luar rutan melalui internet. Sungguh kenyataan yang amat ironis
Minimnya pembinaan yang dilakukan menjadikan lembaga pemasyarakatan bagaikan “sekolah tinggi ilmu kejahatan” bagi narapidana karena memberinya ilmu yang lebih mumpuni untuk melakukan kejahatan yang terencana, bahkan terorganisir melalui teman-temannya di dalam penjara, setelah kelak mereka menghirup udara bebas.


Ø  Menurut saya permasalahan dari lembaga pemasyarakatan adalah pelaksanaan pemasyarakatan di Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah masalah mulai dari bangunan atau gedung yang masih merupakan peninggalan jaman kolonial Belanda yang sarat dengan potret kepenjaraan, keterbatasan pemahaman sumber daya manusia tentang filosofi pemasyarakatan, anggaran yang sangat minim, prisonisasi, sampai pada stigmatisasi yang membuat mantan narapidana belum bisa diterima oleh masyarakat dengan baik ketika mereka menghirup udara bebas.
Ø  Berbagai bentuk diskusi dan seminar berulangkali dilakukan. Begitu juga dengan opini yang membahas persoalan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Namun sepertinya semua berlalu begitu saja tanpa ada upaya konkret untuk mengubah kondisi yang sudah terlalu parah tersebut. Bahkan otoritas yang paling bertanggungjawab dalam manajemen penjara di Indonesia, yakni Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, tidak melakukan perubahan apa-apa dengan alasan keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Menyadari berbagai permasalahan dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan yang tak pernah selesai, maka perlu dilakukan reformasi atau langkah-langkah yang bersifat revolusioner. Dalam hal ini, privatisasi atau swastanisasi lembaga pemasyarakatan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif.

PUSKESMAS


Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
1.      UPT tugasnya adalah menyelenggarakan sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan
2.      Pembangunan Kesehatan maksudnya adalah penyelenggara upaya kesehatan
3.      Pertanggung jawaban secara keseluruhan ada diDinkes dan sebagian ada di Puskesmas
4.      Wilayah Kerja dapat berdasarkan kecamatan, penduduk, atau daerah terpencil.

Visi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat

Indikator Kecamatan Sehat:
(1) lingkungan sehat,
(2) perilaku sehat,
(3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
(4) derajat kesehatan penduduk kecamatan

Misi Puskesmas
·         Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya
·         Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya
·         Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
·         Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya

Fungsi Puskesmas
·         Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
·         Pusat Pemberdayaan Masyarakat
·         Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
·         Pelayanan Kesehatan Perorangan
·         Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Kedudukan
Ø  Sistem Kesehatan Nasional → sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggungjawab menyelenggarakan UKP dan UKM di wilayah kerjanya.
Ø  Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota → sebagai UPT Dinas Kesehatan yang bertanggungjawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan Kabupaten/kota di wilayah kerjanya.
Ø  Sistem Pemerintahan Daerah  adalah sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat kecamatan.
Ø  Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagai mitra dan sebagai pembina upaya kesehatan berbasis dan bersumberdaya masyarakat seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa dan Pos UKK.

Struktur Organisasi
v  Kepala Puskesmas
v  Unit Tata Usaha:
v  Data dan Informasi,
v  Perencanaan dan Penilaian,
v  Keuangan, Umum dan Kepegawaian
v  Unit Pelaksana Teknis Fungsional Puskesmas:
v  UKM / UKBM
v  UKP
v  Jaringan pelayanan Puskesmas:
v  Unit Puskesmas Pembantu
v  Unit Puskesmas Keliling
v  Unit Bidan di Desa/Komunitas

Tata Kerja
·         Kantor Camat → koordinasi
·         Dinkes → UPT → bertanggung jawab ke Dinkes
·         Jaringan Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagi mitra
·         Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat → sebagai pembina
·         Jaringan Pelayanan Kesehatan Rujukan →kerjasama
·         Lintas sektor → koordinasi
·         Masyarakat → perlu dukungan/partisipasi →BPP (Badan Penyantun Puskesmas)


Upaya Puskesmas
Ada dua: UKM DAN UKP
1.      Upaya kesehatan Wajib → upaya berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta punya daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta wajib diselenggarakan puskesmas di wilayah Indonesia.
2.      Upaya Kesehatan Pengembangan → upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas

Upaya Kesehatan Wajib:
1.      Upaya Promosi Kesehatan
2.      Upaya Kesehatan Lingkungan
3.      Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
4.      Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
5.      Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6.      Upaya Pengobatan

Upaya Kesehatan Pengembangan
1.      Upaya Kesehatan Sekolah,
2.      Upaya Kesehatan Olah Raga,
3.      Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat,
4.      Upaya Kesehatan Kerja,
5.      Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut,
6.      Upaya Kesehatan Jiwa
7.      Upaya Kesehatan Mata,
8.      Upaya Kesehatan Usia Lanjut,
9.      Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.

Azas Penyelenggaraan
·         Azas Pertanggungjawaban Wilayah →bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya
·         Azas Pemberdayaan Masyarakat → Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya Puskesmas
·         Azas Keterpaduan
·         Azas keterpaduan lintas program → MTBS, UKS, PUSLING, POSYANDU
·         Azas Keterpaduan Lintas Sektor → UKS, GSI, UKK
·         Azas Rujukan
·         Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan → kasus, spesimen, ilmu pengetahuan
·         Rujukan Upaya Kesehatan Masyarakat → sarana dan logistik, tenaga, operasional

Manajemen Puskesmas
·         P1: Perencanaan
·         Rencana Usulan Kegiatan
·         Rencana Pelaksanaan Kegiatan
·         P2: Pelaksanaan dan Pengendalian
·         Pengorganisasian
·         Penyelenggaraan
·         Pemantauan
·         P3: Pengawasan dan Pertanggungjawaban
·         Pengawasan internal dan eksternal
·         Pertanggungjawaban

Dari konsep Puskesmas di atas, Saya ingin mengomentari atas menyimpangnya puskesmas dari konsepnya tersebut, pertama resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi. Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.
Membangun di hulu
Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.
Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.
Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.
Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.
Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak profesional.
Konsekuensi sistem
Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.
Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi praktik naik ojek.
Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.
Lebih berat
Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.
Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.
Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.
Kekuasaan dokter
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.
Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.
Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari. Kita tidak.
Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan.
Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun "praktik bersama" agar berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.
Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.
Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, malu aku jadi dokter Indonesia.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


A.     Pengertian dan Ruang Lingkup PBB
Pajak Bumi dan Bangunan tidak hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah tetapi juga strategis dan signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan kehidupan yang lain. Dengan demikian persoalan PBB tidak hanya persoalan ekonomi atau administrasi maupun persoalan keuangan tetapi harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Dalam konteks seperti inilah pemerintah merasa penting untuk mengatur dan mengelola PBB, untuk selanjudnya sebagian besar didistribusikan kembali ke pada daerah-daerah dengan persentase tertentu ( Suharno 2003).
Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang no 12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.Objek PBB adalah Bumi dan atau Bangunan. Bumi yaitu permukaan bumi (tanah dan perairan), dan tubuh bumi yang ada dipedalaman serta di laut Indonesia.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan jenis pajak yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah dalam menentukan besar pajaknya (menganut sistem pemungutan official assessmen system). Pajak ini bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Di sini keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Adapun hasil dari penerimaan pajak tersebut dilakukan pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat II dan Tingkat I, akan tetapi sebagian besar dari penerimaan pajak diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II3 sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan harus benar-benar diatur dengan undang-undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sebelum diterbitkannya undang- undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985, pengaturan tentang pajak yang berkaitan dengan bumi dan /atau bangunan sudah ada sejak zaman kolonial seperti Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalanan 1942, Iuran Pembangunan Daerah 1957, Pajak Hasil Bumi 1959.
Sejak tahun 1986 Pajak Bumi dan Bangunan dipungut berdasarkan Undang-Undang No. 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang merupakan penyederhanaan dari undang-undang di atas.
Dalam sejarah perkembangannya, Undang-Undang PBB tahun 1985 mengalami perubahan pada tahun 1994. Adapun tujuan dan arah penyempurnaannya adalah seperti disebutkan dalam penjelasan undang-undang No. 12 Tahun 1994: Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak.
Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
B.    Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam mewujudkan atau merealisasikannya, Pajak Bumi dan Bangunan juga diatur oleh Peraturan Pemerintah serta Keputusan Menteri Keuangan. Jadi sebagai acuan untuk pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
    Undang-undang No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
    Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Pendaftaran Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan penunjukan Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK/1985 tentang pelimpaham wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan / Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK. 04/1998 tentang penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK. 04/2002 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan No. 552/KMK. 03/2002 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
C.    Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
1. Subjek / Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan /bangunan5. Jangkauan subjek dalam UU PBB sangat luas, karena meliputi orang atau badan yang memiliki, menguasai dan /atau memperoleh manfaat atas bumi dan / atau bangunan. Ini berarti meliputi antara lain pemilik, penghuni, pengontrak, penggarap, pemakai dan penyewa atas bumi dan /bangunan.
Oleh karena sangat luasnya maksud yang terkandung dalam UU PBB, yang menjadi subjek pajak belum tentu menjadi wajib pajak. Sebab subjek pajak akan /baru menjadi wajib pajak apabila sudah memenuhi sayarat-syarat objektif atau sudah mempunyai objek PBB yang dikenakan pajak. Yang berarti subjek pajak mempunyai hak atas objek yang dikenakan pajak (memiliki, menguasai, memperoleh manfaat dari objek kena pajak).
Misalanya si A memperoleh manfaat dari bangunan yang Nilai Jual Kena Pajaknya kurang dari Rp. 8000.0006,-. Si A tetap menjadi subjek pajak akan tetapi bukan merupakan wajib pajak. Yang berarti dia akan dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak. Ketentuan ini bermaksud untuk tidak mengenakan atas rumah /bangunan milik subjek pajak yang kurang mampu.
Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak oleh undang-undang diberi wewenang untuk menunjuk dan menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Beberapa ketentuan khusus tentang siapa yang menjadi subjek pajak dalam hal ini adalah:
·         Jika subjek pajak memanfaatkan dan menggunakan bumi dan /bangunan milik orang lain bukan karena suatu hak atau perjanjian, maka subjek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
·         Jika objek pajak masih dalam sengketa, maka orang /badan yang memanfaatkan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
·         Apabila subjek pajak sudah memberi kuasa kepada orang/badan untuk merawat (mengurus) bumi dan bangunannya disebabkan suatu hal, maka orang/badan yang telah diberi kuasa dapat ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Pengecualian Subjek PBB
Sebenarnya Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal adanya pengecualian terhadap subjek pajak, karena pajak ini bersifat objektif. Yang ada hanya pengecualian objek pajak.

Wakil-wakil diplomatik (konsulat) dan wakil-wakil organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, bukan berarti pengecualian subjektif, melainkan karena pembebasan /pengecualian objektif, yaitu yang digunakan oleh wakil-wakil tersebut, pengecualian /pembebasan pajak tersebut dengan syarat timbal balik atau pembebasan itu baru diberlakukan, jika negara yang bersangkutan juga memberikan pembebasan yang sama dari pajak yang dikenakan kepada wakil-wakil diplomatik Indonesia. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pembebasan pajak itu tidak berlaku.
D.    Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985 menyebutkan bahwa yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan /bangunan. Keduanya (bumi dan bangunan) dapat berdiri sendiri (bumi saja atau bangunan saja) maupun secara bersama-sama sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengertian bumi dijelaskan meliputi permukaan bumi dan juga tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Apa yang disebut “permukaan bumi” di sini tak lain adalah tanah itu sendiri yang meliputi perairan. Sedangkan “tubuh bumi” adalah apa-apa yang berada di dalam bumi dan yang berada di bawah air. Apa yang disebut dengan air (perairan) disini mencakup perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa) serta laut wilayah Indonesia.
Jadi yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan itu adalah tanah, air (perairan) dan tubuh bumi. Contoh : sawah, ladang, kebun, pekarangan, tambang, dll.
Bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha10. Yang termasuk dalam pengertian bangunan dalam penjelasan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
·         Jalan lingkungan yang teletak dalam suatu kompleks bangunan.
·         Kolam renang.
·         Galangan kapal, dan dermaga.
·         Jalan tol.
·         Pagar mewah.
·         Taman mewah.
·         Tempat penampungan / kilang minyak.
·         Tempat olah raga, dan lain-lain.
Apabila seseorang atau badan memiliki rumah (bangunan) yang berada di atas tanah orang lain sehingga pemilik bangunan terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang Pajak Bumi Bangunan memungkinkan pemilik bangunan dikenakan pajak sendiri terlepas dari pajak yang dikenakan pada pemilik tanah.
Dalam keadaan seperti itu, pengaturan hukum (Undang-Undang Pokok Agraria) menganut asas “pemisahan horizontal” yang bertumpu pada hukum adat. Masalah ini sering terjadi di kota-kota besar yang banyak dibangun rumah bertingkat dan di setiap tingkat dimiliki oleh orang lain. Yang sekarang lebih kita kenal dengan sebutan rumah susun atau apartemen.
Sedangkan untuk bumi atau bangunan yang digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sedangkan mengenai bumi dan /bangunan milik perorangan atau badan (swasta) yang digunakan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan, kewajiban pajakannya tergantung dari perjanjian.
E.     Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Dalam melaksanakan proses perpajakan wajib pajak mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditaati untuk.
    Hak Wajib Pajak.
    Hak untuk memperoleh SPOP, SPPT, STTS beserta informasinya dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan.
    Hak untuk memperbaiki atau mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan.
    Hak untuk menunjuk pihak lain selain pegawai pajak dengan surat kuasa untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
    Hak untuk mengajukan permohonan mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.
    Hak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan atas penetapan PBB.
a.      Kewajiban Wajib Pajak
b.      Mendaftarkan Objek Pajak.
c.       Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap.
d.      Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi ke Kantor Pelayanan PBB.
e.      e. Melaporkan perubahan data objek pajak atau wajib pajak ke Kantor Pelayanan PBB setempat apabila ada perubahan dengan cara mengisi SPOP baru sebagai perbaikan.
F.     Pembangian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan sekurang-kurangnya 90% untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sisanya untuk Pemerintah Pusat.
Kebijakan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang masyarakat dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak sekaligus mencerminkan sifat gotong royong rakyat dalam membiayai pembangunan.
Pembagian hasil penerimaan PBB antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagai berikut:
    10% dari jumlah hasil penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Pusat dan harus disetorkan ke Rekening Kas Negara untuk dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten /kota.
    90% dari jumlah penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Daerah. Dengan pembagian setelah dikurangi biaya pemungutan sebesar 10%.
          -       Pemda propinsi                                                                                            = 20%.
          -       Kabupaten /Kota                                                                                          = 80%.
Jadi masing-masing penerimaan PBB adalah sebagai berikut:
    Pemerintah Pusat                                                                                                       = 10%.
    Biaya pemungutan                                                   10% x 90%                            = 9%.
    Pemerintah daerah propinsi                             20% x (90% – 9%)                 = 16,2%.
    Pemerintah daerah kabupaten /Kota            80% x (90% – 9%)                 = 64,8%.
Jumlah Penerimaan PBB                                                                                                       = 100%.
Bagian 10% untuk pemerintah adalah sebagai pengganti karena pemerintah pusat sudah tidak menerima hasil pajak kekayaan lagi. Dan penerimaan yang diterima oleh Pemerintah daerah Tingkat I dan II sebagai pengganti atas hasil Ipeda dan PRT (yang telah dihapuskan).
G.    Pajak Bumi dan Bangunan Untuk Pembangunan Daerah
Pajak Bumi dan Bangunan untuk membangun daerah dalam suatu Negara harus didasarkan pada perekonomian yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan bangsa ini cepat tercapai, peran pajak bumi dan bangunan daerah sangat vital dan dapat mengembalikan uang tersebut ke daerah untuk pembangunan dan pemberdayaan daerah itu sendiri.
Melihat bertapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam membangun daerah yang sangat potensial, maka diperlukan strategis dalam pemungutannya lapangan, karena sering sekali para wajib pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak sering melihat hantu koruptor di lembaga tersebut.
Dalam hal pembangunan daerah maka diperlukan kesadaran dalam membayar pajak bumi dan bangunan agar pembangunan daerah melalui pajak bumi dan bangunan cepat terealisasi dengan baik, dan paling tidak daerahpun dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian dengan pendapatannya sendiri.

Ø  Saya dapat menyimpulkan bahwa peran pajak dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis material dan darah kehidupan (lifeblood) bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada Negara otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa adanya pajak dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan ini “pajak” bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya, akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Walaupun sebenarnya banyak sekali sektor pendapatan negara ini yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Mulai dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan usaha-usaha perusahaan negara. Akan tetapi sektorsektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang lebih baik seperti yang diharapkan.
Ø  Saya mamiliki sedikit kritik dan saran, yakni mari kita mengubah paradigma yang telah lama berkembang di Indonesia tentang pendapatan dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan agar Pajak Bumi dan Bangunan tidak selalu menjadi hal yang dipasakan kepada masyarakat dan pemerintah tidak lagi mengandalkan pajak sebagai pendapatan yang paling utama dalam APBN. Paling tidak sektor pendapatan nasional dapat di tompang dari sektor pendapatan-pendapatan lain, hal ini juga pemerintah dapat membuat trobosan baru dan strategis untuk pemanfaatan sumber daya alam yang lain, agar suatu saat nanti pendapatan dari sektor lain bisa menerobos dan mendukung pendapatan nasional.