Senin, 09 Januari 2012

PUSKESMAS


Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
1.      UPT tugasnya adalah menyelenggarakan sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan
2.      Pembangunan Kesehatan maksudnya adalah penyelenggara upaya kesehatan
3.      Pertanggung jawaban secara keseluruhan ada diDinkes dan sebagian ada di Puskesmas
4.      Wilayah Kerja dapat berdasarkan kecamatan, penduduk, atau daerah terpencil.

Visi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat

Indikator Kecamatan Sehat:
(1) lingkungan sehat,
(2) perilaku sehat,
(3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
(4) derajat kesehatan penduduk kecamatan

Misi Puskesmas
·         Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya
·         Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya
·         Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
·         Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya

Fungsi Puskesmas
·         Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
·         Pusat Pemberdayaan Masyarakat
·         Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
·         Pelayanan Kesehatan Perorangan
·         Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Kedudukan
Ø  Sistem Kesehatan Nasional → sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggungjawab menyelenggarakan UKP dan UKM di wilayah kerjanya.
Ø  Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota → sebagai UPT Dinas Kesehatan yang bertanggungjawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan Kabupaten/kota di wilayah kerjanya.
Ø  Sistem Pemerintahan Daerah  adalah sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat kecamatan.
Ø  Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagai mitra dan sebagai pembina upaya kesehatan berbasis dan bersumberdaya masyarakat seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa dan Pos UKK.

Struktur Organisasi
v  Kepala Puskesmas
v  Unit Tata Usaha:
v  Data dan Informasi,
v  Perencanaan dan Penilaian,
v  Keuangan, Umum dan Kepegawaian
v  Unit Pelaksana Teknis Fungsional Puskesmas:
v  UKM / UKBM
v  UKP
v  Jaringan pelayanan Puskesmas:
v  Unit Puskesmas Pembantu
v  Unit Puskesmas Keliling
v  Unit Bidan di Desa/Komunitas

Tata Kerja
·         Kantor Camat → koordinasi
·         Dinkes → UPT → bertanggung jawab ke Dinkes
·         Jaringan Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagi mitra
·         Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat → sebagai pembina
·         Jaringan Pelayanan Kesehatan Rujukan →kerjasama
·         Lintas sektor → koordinasi
·         Masyarakat → perlu dukungan/partisipasi →BPP (Badan Penyantun Puskesmas)


Upaya Puskesmas
Ada dua: UKM DAN UKP
1.      Upaya kesehatan Wajib → upaya berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta punya daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta wajib diselenggarakan puskesmas di wilayah Indonesia.
2.      Upaya Kesehatan Pengembangan → upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas

Upaya Kesehatan Wajib:
1.      Upaya Promosi Kesehatan
2.      Upaya Kesehatan Lingkungan
3.      Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
4.      Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
5.      Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6.      Upaya Pengobatan

Upaya Kesehatan Pengembangan
1.      Upaya Kesehatan Sekolah,
2.      Upaya Kesehatan Olah Raga,
3.      Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat,
4.      Upaya Kesehatan Kerja,
5.      Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut,
6.      Upaya Kesehatan Jiwa
7.      Upaya Kesehatan Mata,
8.      Upaya Kesehatan Usia Lanjut,
9.      Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.

Azas Penyelenggaraan
·         Azas Pertanggungjawaban Wilayah →bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya
·         Azas Pemberdayaan Masyarakat → Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya Puskesmas
·         Azas Keterpaduan
·         Azas keterpaduan lintas program → MTBS, UKS, PUSLING, POSYANDU
·         Azas Keterpaduan Lintas Sektor → UKS, GSI, UKK
·         Azas Rujukan
·         Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan → kasus, spesimen, ilmu pengetahuan
·         Rujukan Upaya Kesehatan Masyarakat → sarana dan logistik, tenaga, operasional

Manajemen Puskesmas
·         P1: Perencanaan
·         Rencana Usulan Kegiatan
·         Rencana Pelaksanaan Kegiatan
·         P2: Pelaksanaan dan Pengendalian
·         Pengorganisasian
·         Penyelenggaraan
·         Pemantauan
·         P3: Pengawasan dan Pertanggungjawaban
·         Pengawasan internal dan eksternal
·         Pertanggungjawaban

Dari konsep Puskesmas di atas, Saya ingin mengomentari atas menyimpangnya puskesmas dari konsepnya tersebut, pertama resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi. Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.
Membangun di hulu
Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.
Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.
Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.
Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.
Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak profesional.
Konsekuensi sistem
Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.
Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi praktik naik ojek.
Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.
Lebih berat
Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.
Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.
Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.
Kekuasaan dokter
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.
Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.
Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari. Kita tidak.
Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan.
Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun "praktik bersama" agar berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.
Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.
Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, malu aku jadi dokter Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar